Tuesday, September 6, 2011

Budaya Aria (buku Qiyamat Bab 2)

Pesan Kebudayaan Aria : Superioritas Ras

         
        Peradaban Aria di dirikan atas dasar genetika, pokok pikiran dari padanya adalah bahwa semua manusia tidaklah sama, sebagian lebih tinggi dan lain-lainnya lebih rendah, seperti juga dalam harta benda, sebagian orang kaya dan lain-lainnya miskin, sebagian kuat dan lain-lainnya lemah, sebagian lainnya cerdas dan lain-liannya dungu.
         Hal kedua yang penting dalam kebudayaan ini adalah bahwa perbedaan di antara kemampuan dan kondisi-kondisi dari berbagai bangsa dapat diberi kelanggengan dengan syarat-syarat tertentu, dan ini adalah syarat yang perlu di lakukan untuk kepentingan manusia, sehingga ras manusia dapat lebih maju dengan lancar dan cepat, yang menjadi asas pemikiran kebudayaan tersebut ialah bahwa anak-anak dari seorang bapak yang sehat dan kuat dengan sendirinya akan melahirkan anak-anak yang sehat dan kuat pula, kalau badan atau jasmaniah dapat di perbaiki dengan cara ini maka harus pula ia di lakukan dengan kemampuan-kemampuan mental, karena keturunan dari keluarga yang superior tentu saja ia akan menjadi anak-anak yang superior, dengan kata lain kebudayaan ini menekankan pembiakan yang selektip sebagai suatu prinsip yang maha penting di antara makhluk manusia. Kemana saja peradaban Aria ini pergi maka lembaga politik sosialnya di dirikan atas pondasi ini. Putra seorang Barahmana selamanya akan lebih tinggi secara mental, seorang kesatria akan lebih superior secara fisik sebagai seorang prajurit, dan suatu ras yang menjaga kemurnian darahnya menurut garis ini akan memperpanjang kekuasaan dan pegangannya atas bangsa lainnya. Itulah sebab mengapa ide pemikiran ke-agamaan mereka tetap berpegang teguh pada prinsip ini, contohnya saja kitab weda menetapkan, bahwa perkataan dari nas-nas suci kebetulan terdengar oleh telinga orang sudra, maka logam cair harus di tuangkan ke dalam telinganya, sebab hanya orang-orang brahmana, kesatria, dan waisya yang berhak mendengarkan mantra-mantra suci, bukan orang sudra.
          Sejauh yang saya lihat, kepercayaan mereka adalah”bahwa orang berulang-ulang kembali ke dunia ini setelah matinya, atau yang di sebut Re-inkarnasi,dan melalui berbagai perpindahan ruh kepada raga yang sesuai dengan kapasitasnya, ini adalah akibat langsung dari filsafat yang baru di sebutkan, mereka percaya bahwa bagi suatu ras superior yang ingin mempertahankan posisinya perlulah agar roh dengan sifat superior selalu datang kepadanya, maka untuk tujuan ini mereka mengemukakan teori bahwa roh-roh secara intelektual yang tinggi secara kasta akan lahir kembali setelah matinya sebagai seorang brahmana, roh-roh yang tinggi secara jasmaniah akan kembali sebagai kesatria, sedangkan roh-roh yang yang lebih ahli dalam bidang usaha akan terlahir kembali sebagai waisya, mungkin budaya tersebut sama dengan budayanya orang sunda zaman dahulu kala yang mengenal istilah penitisan dalam kasta, di mana Brahman dalam istilah sunda adalah Prabu atau Rakean, dan kesatria dalam istilah Jeladri, sedangkan waisya adalah istilah yang mereka pakai untuk Priyayi, dengan mengajarkan doktrin tersebut kepada kasta yang lebih rendah, maka pendiri kebudayaan ini akan mencegah kemungkinan adanya perlawanan terhadap tertib itu. Kaum sudra mungkin akan memberontak sekiranya ia dibiarkan dengan fikiran bahwa mereka selamanya akan tinggal sebagai khaum sudra, begitu pun khaum kesatria yang mungkin akan melakuakan hal yang sama jika kepada mereka terus diajarkan bahwa mereka akan terus memainkan peran kedua. Tetapi ke dua kasta tersebut secara efektif dapat di tenangkan dengan harapan yang di tanamkan ke dalam hati mereka bahwa orang-orang brahma, kesatria, waisya dan sudra itu bukanlah ras-ras itu sendiri, melainkan hanya merupakan suatu penentuan tempat-tempat untuk jiwa-jiwa yang baik dan buruk sesuai dengan amal perbuatan mereka,dalam suatu tentara kita lihat seorang letnan tidaklah iri kepada seorang kapten, atau seorang kapten tidak menyimpan suatu kebencian terhadap seorang mayor, karena setiap diri mereka sadar bahwa itu hanya merupakan suatu pangkat- pangkat yang juga terbuka bagi mereka yang lebih rendah untuk mencapainya pada massanya nanti berdasarkan prestasinya, begitu pula mentalitas yang di pupuk dalam ajaran kebudayaan aria ini, bahwa khaum sudra tidaklah iri terhadap khaum waisya, dan khaum waisya juga tidak iri kepada khaum kesatria, begitu pun khaum kesatria yang tidak akan membenci khaum brahmana, karena semua kedudukan tersebut ada dalam system kasta, yang di dasarkan atas teori penitisan jiwa, adalah akibat dari perbuatan-perbuatan buruk yang di lakukan di massa lampau, dan karena itu terbuka untuk khaum sudra, waisya dan kesatria jika dulunya ia menghayati bimbingan spiritual dari brahmana.
          Dengan jalan mendasarkan seluruh teori sosial mereka pada pokok pikiran tentang superioritas ras dan pembiakan yang ketat untuk melestarikan kekuasaan mereka, maka pendiri peradaban Aria ini dapatlah selamanya mencegah terjadinya suatu pemberontakan yang serius terhadap tertib tersebut, mereka menciptakan harapan-harapan yang palsu terhadap khaum yang lebih rendah seperti kepada khaum sudra yang di katakan bahwa mereka akan bisa meningkat pada massanya apabila ia tunduk dan patuh kepada khaum brahma, sama halnya seperti doktrin-doktrin yang di jejalkan oleh Ulama atau kiyai kepada orang-orang awam agama yang mereka sebut ummat, dengan harapan dan angan-angan yang menyenangkan tersebut maka khaum yang tertindas dan hanya dimampaatkan itu, akan merasa puas dan melupakan penderitaan mereka, dihanyutkan oleh mimpi-mimpi dan khayalan akan syurga setelah mati, atau penitisan yang lebih baik setelah mereka mati, hanya untuk mereka yang bisa menarik hati dan menyenangkan khaum brahmana.
          Inilah mengapa selama ribuan tahun di bawah penindasan ras tapi khaum yang di katakan tertindas tetap puas di bawah kekuasaan khaum brahma. Dalam pandangan setiap orang sudra bahwa teori tentang penitisan roh tersebut membatasi massa kesengsaraan dan kehinaan bagi mereka hanya sampai jangka waktu di dunia saja, yang dapat di lalui dalam kehidupan sekarang jika mereka bersabar untuk menjadi pelayan setia khaum brahma, dengan cara berpikir seperti itu maka tentu saja tidak akan terpikir olehnya bahwa ia harus menghancurkan suatu tertib yang lama dan menggantinya dengan mendirikan suatu sistem yang baru. Karena mereka telah lebih dulu di beri angan-angan dan harapan tentang syurga di mana hak-hak bagi mereka akan terbuka dengan jalan mengikuti jalan perbuatan baik yang di ukur menurut standarisasi ajaran dari khaum Brahmana.
         Sebagai suatu alat untuk melestarikan kekuasaan ras dari suatu golongan khusus maka teori penitisan jiwa ini haqiqatnya adalah suatu penemuan dari ahli pikir yang luar biasa, untuk itulah ia pantas menerima acungan jempol yang setinggi-tingginya, tetapi pada kenyataannya teori tersebut secara tidak baik di pergunakan sebagai alat untuk menyiapkan rantai bagi perbuadakan ras dari sebagian ummat manusia.


No comments:

Post a Comment