Tuesday, September 6, 2011

Di Turunkannya Syariat dan Qiyamat Ibrahim (Bab 5)

Pesan Zaman Ke Dua : Di Turunkannya Syariat

         
         Ini adalah peradaban tingkat ke dua yang di ketahui oleh masyarakat secara luas, Nuh di utus ketika pemikiran manusia tiba pada beberapa pendapat samar tentang sifat-sifat Ilahi, yang menerangkan mengapa Nabi Muhammad berkata bahwa Nuh itu adalah Nabi pertama yang menerima syariat (peraturan ke-susila’an dan ke-rohanian), ini di jelaskan dalam Al-qur’an (Q.S 4:164);

Yakni, wahyu Allah yang di turunkan kepadamu(Muhammad) adalah sama dengan wahyu yang di turunkan kepada Nuh. (Q.S 4:164).
          
       Dengan perkataan lain, Nuh menerima wahyu pertama yang mengajarkan beberapa kepercayaan yang meliputi beberapa perincian berkenaan dengan sifat-sifat Ilahi, karena pikiran manusia telah berkembang di mana ia kini dapat memahami tentang keTuhanan dengan menajamnya rasa, namun pikiran masih belum bisa menjelaskan dan menerangkan sifat-sifat itu secara gambling sehingga orang-orang menggambarkan Tuhan dengan sosok dan manusia, maka pembicaraan syirik dalam Al-qur’an dimulai dari masa Nabi Nuh, maka Nuh pun adalah sebagai Nabi pertama yang membawa syariat sebagai mana yang di sebutkan dalam istilah islam, dalam periode Nuh ini kemampuan manusia mulai meningkat kepada kebutuhan dirinya akan spiritual sehingga manusia mulai menduga-duga tentang cara-cara rohani yang lebih baik, manusia juga mulai berusaha untuk itu dan azas yang pertama kali berkembang tentunya adalah menduga dan memahami benda-benda dalam nilai metafisik yang di jadikan kiblat oleh mereka.



Zaman Ke Tiga : Qiyamat Ibrahim

         
       Zaman ke tiga adalah zaman Nabi Ibrahim, walau pun berkenaan dengan Nuh dapat disimpulkan dari Al-qur’an bahwa itu adalah zaman mulai munculnya hal-hal yang bersifat syirik, dan Nuh berusaha memusnahkan nilai-nilai itu dari padanya, namun pada kala itu pun merupakan zaman awal mulanya pengertian pikiran manusia mulai bisa menangkap rasa dan sifat-sifat Ilahi yang sebelumnya belum bisa di tangkap oleh orang-orang pada umumnya, sekali pun sifat syirik dalam pikiran masih dalam bentuk kasar dan baru tumbuh dalam diri, karena terbukti pada waktu itu orang-orang mulai memuja penjelmaan Tuhan dalam bentuk benda atau beberapa sifat lainnya yang lebih sederhana, yang mudah di tumbangkan dalil-dalilnya, tetapi pada zaman Ibrahim syirik mulai mengambil bentuk suatu filsafat yang teratur, dengan kapasitas tertentu untuk menerbitkan rasa hormat kepada suatu benda atau berhala sehingga pemikiran manusia pun dapat menerima itu sebagai suatu kebenaran, maka pada waktu itulah Ibrahim pun menyadarkan masyarakat dengan cara-cara yang lebih halus kepada suatu bentuk yang di sebut Tauhid, tapi untuk menangkap tauhid yang tekanannya lebih kepada rasa penyatuan diri dengan kuasa Tuhan, maka untuk menerangkan hal tersebut tentunya suatu hal yang sulit untuk bisa diterima oleh akal pikiran orang-orang pada kala itu, karena akal pikiran orang-orang kala itu telah di cekoki oleh filsafat-filsafat tentang penyembahannya kepada suatu benda, sehingga ketika Ibrahim bertanya mengapa mereka menyembah berhala atau batu ? maka mereka dengan cepat mengatakan bahwa hal tersebut di lakukannya bukan sebagai penyembahan kepada batu tapi penyembahan mereka kepada Allah dan pemusatan pikiran dengan adaya kiblat yang di buat sebagai rumah Allah, berhala atau rumah Allah itu sebagai perantara ibadah kami kepada Allah, dan pemersatuan ummat manusia jawab mereka, karena pikiran memang butuh sosok dan benda untuk media pemusatan pikiran, dan filsafat-filsafat itu mulai di benarkan oleh pikiran orang-orang kala itu, dalam kata lain syirik itu memang ada dan tetap tumbuh dalam diri manusia tapi ia di beri bentuk baru agar bisa di benarkan dan di terima oleh akal pikiran dan nafsu dengan suatu penjelasan yang di buat-buat, ini sebabnya mengapa yang bersangkutan dengan Ibrahim selalu berulang-ulang di katakan;

“wama kana minal musyrikina” ( Ibrahim bukanlah termasuk orang yang Musyrik).
         
    Yaitu bahwa Ibrahim bukanlah termasuk orang-orang yang musrik, sementara dalam masa periode Nuh Allah tidak mengatakan itu, oleh karena di zaman Nuh syirik hanya merupakan suatu jenis yag masih dangkal dan mudah digoyahkan pendapatnya dengan dalil-dalil, sehingga tdai perlu di banyak tenaga dan pikiran utuk menhancurkan sifat syirik yang seperti itu, karena bentuk-bentuknya masih bersifat kasar dan pikiran manusia pun belum bisa menerimanya sebagai suatu kebenaran, akan tetapi pada zaman Ibrahim syirik itu telah muncul mejadi suatu adat dan telah membentuk suatu filsafat untuk menguatkan hujah mereka sehingga syirik pun berkembang menjadi hal yang lebih halus dan pikiran orang-orang pun akan merasa sulit untuk mengatakan bahwa itu suatu bentuk syirik, karena syirik tersebut telah menjadi kebiasaan dirinya dan telah merasuk jauh ke dalam pikiran dan hatinya dan membentuk filsafat dan teori, sehingga Ibrahim pun berperang melawan syirik-syirik dalam bentuk seperti itu, maka muncullah kata-kata yang di keluarkan oleh Ibrahim tentang kiblat yang sebenarnya dengan perkataan;
“Man aropa nafsahu pakod aropa robbahu” Barang siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.
         Namun rupanya hal tersebut tidak membuat manusia dengan serta merta melepas sifat-sifat syirik dalam dirinya,sehingga rosul pun selalu menjelaskan bahwa manusia lebih senang kalau mereka kembali kepada tradisi nenek moyangnya yang jahiliyah.

No comments:

Post a Comment